Latest News

Showing posts with label Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Liturgi. Show all posts

Saturday, March 3, 2012

Krisis Liturgi adalah Krisis Utama Gereja Saat Ini


His Holiness Benedict XVI
Sejak 2 tahun lalu terjun dalam bidang apologetika dan katekese dunia maya, saya kerapkali melihat laporan terjadinya Pelecehan Liturgi dalam Ekaristi dari teman-teman atau dari para anggota fanspage Katolik berbahasa Indonesia yang ada di facebook. Tidak jarang akhirnya muncul perdebatan-perdebatan antara yang menghendaki Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja dengan yang tidak terlalu mempedulikan Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja. Di samping itu, sejumlah blog dan situs luar yang concern terhadap Pelecehan Liturgi seperti Rorate Caeli, New Liturgical Movement, dan What Do The Prayer Really Says juga sering mempublikasikan Pelecehan-Pelecehan Liturgi yang terjadi di luar Indonesia, mulai dari pelecehan ringan hingga pelecehan berat.

Ironisnya, sejumlah denominasi-denominasi Protestan yang liturginya berakar pada Katolisitas justru ternyata lebih setia dan taat pada aturan liturgi mereka, sebut saja denominasi Grace Lutheran Church, denominasi Anglican Church dan Episcopalian Church. Akhirnya muncullah kalimat-kalimat dari sejumlah orang Katolik yang peduli Liturgi bahwa denominasi-denominasi ini �lebih Katolik daripada Gereja Katolik sendiri.�


Apakah terlalu jauh mengatakan bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja saat ini? Tidak sama sekali. Paus Benediktus XVI, para kardinal dan uskup justru mengamini pernyataan ini. Mari kita lihat:
A young priest recently told me: "Today we need a new liturgical movement". He was expressing a desire, these days, only deliberately superficial souls would ignore. What matters to that priest is not the conquest of new, bolder liberties. For, where is the liberty that we have yet to arrogate ourselves? That priest understood that we need a new beginning born from deep within the liturgy, as liturgical movement intended. In its practical materialization, liturgical reform has moved further away from this origin. The result was not re-animation but devastation. [1]
Di sini Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa pembaharuan Liturgi di era modern ini berjalan terlalu jauh dari yang aslinya. Akibatnya adalah sebuah penghancuran.
A renewal of liturgical awareness, a liturgical reconciliation that again recognises the unity of the history of the liturgy and that understands Vatican II, not as a breach, but as a stage of development: these things are urgently needed for the life of the Church. I am convinced that the crisis in the Church that we are experiencing today is to a large extent due to the disintegration of the liturgy, which at times has even come to be conceived of etsi Deus non daretur: in that it is a matter of indifference whether or not God exists and whether or not He speaks to us and hears us. But when the community of faith, the world-wide unity of the Church and her history, and the mystery of the living Christ are no longer visible in the liturgy, where else, then, is the Church to become visible in her spiritual essence? Then the community is celebrating only itself, an activity that is utterly fruitless. And, because the ecclesial community cannot have its origin from itself but emerges as a unity only from the Lord, through faith, such circumstances will inexorably result in a disintegration into sectarian parties of all kinds - partisan opposition within a Church tearing herself apart. This is why we need a new Liturgical Movement, which will call to life the real heritage of the Second Vatican Council. [2]
Di sini Kardinal Ratzinger (Bapa Suci Benediktus XVI) menyatakan bahwa krisis di dalam Gereja yang dialami sekarang sebagian besar disebabkan oleh disintegrasi Liturgi.

Selain pernyataan Bapa Suci Benediktus XVI di atas, Msgr. Georg Ratzinger, saudara tua Paus Benediktus XVI juga melihat bahwa fokus dari Bapa Suci Benediktus XVI yang paling utama adalah Liturgi. Dalam wawancaranya dengan Catholic News Service, Beliau memaparkan:
Tapi dia (Benediktus XVI), tentu saja, sangat peduli bahwa Liturgi harus dirayakan dengan layak dan dirayakan dengan benar. Memang, itu adalah masalah sejati. Music director keuskupan kami baru-baru ini mengatakan bahwa tidak mudah saat ini untuk menemukan sebuah gereja di mana sang imam merayakan Misa-nya sesuai dengan peraturan gereja. Ada begitu banyak imam yang berpikir mereka harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana. Jadi saudara saya (Benediktus XVI) menginginkan keteraturan, Liturgi yang baik yang menggugah orang-orang secara batiniah dan dipahami sebagai panggilan dari Allah. [3]
Selanjutnya, Kardinal Koch, Presiden Komisi Pontifikal untuk Promosi Persatuan Kristen menyatakan demikian:
Present day liturgical practice does not always have any real basis in the Council. For example, celebration versus populum was never mandated by the Council, says the Cardinal. A renewal of the form of divine worship is necessary for the interior renewal of the Church: Since the crisis of the Church today is above all a crisis of the liturgy, it is necessary to begin the renewal of the Church today with a renewal of the Liturgy. [4]
Kardinal Koch malah memberikan pernyataan yang eksplisit bahwa krisis Gereja sekarang di atas semuanya adalah Krisis Liturgi dan pembaharuan Gereja sekarang perlu dimulai dari pembaharuan Liturgi. Kardinal Koch mengatakan hal ini di fakultas teologi Universitas Freiburg, sebuah universitas dengan teologi yang �progresif�.

Di samping Paus Benediktus XVI dan Kardinal Koch, pejabat tinggi Vatikan lainnya, Kongregasi untuk Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen mengeluarkan instruksi Redemptionis Sacramentum pada 25 Maret 2004 yang dilatarbelakangi oleh maraknya Pelecehan Liturgi. Hal ini menegaskan bahwa Gereja memang mengalami Krisis Liturgi:
�Dalam hal ini tidaklah mungkin untuk diam mengenai pelecehan-pelecehan [liturgi], bahkan [pelecehan] yang sungguh serius, terhadap kodrat liturgi dan sakramen-sakramen serta tradisi dan otoritas Gereja, yang di masa kita tak jarang mengganggu perayaan liturgi di satu lingkungan gerejani atau yang lainnya. Di beberapa tempat perbuatan Pelecehan Liturgis hampir telah menjadi kebiasaan, suatu fakta yang jelas tidak dapat dibiarkan dan harus berhenti.� (Redemptionis Sacramentum 4)
Sungguh tepat bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja Universal saat ini. Krisis Liturgi ini dimanifestasikan dalam bentuk Pelecehan Liturgi selama Perayaan Ekaristi. Sebenarnya mengapa Liturgi ini begitu penting dan suci sehingga pelecehan terhadapnya menjadi sebuah krisis utama Gereja?  Mari kita melihat hal ini berdasarkan pengajaran Gereja:

Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; disitu pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama. (Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium 7).

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Liturgi pertama-tama merupakan karya imamat Yesus Kristus serta tindakan Gereja. Sacrosanctum Concilium 6 juga mengatakan bahwa karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja dilaksanakan dalam Liturgi. Nah, dengan demikian pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan terhadap karya imamat Kristus dan tindakan Gereja. Di samping itu, karena Liturgi tidak bisa terpisahkan dari Ekaristi, maka setiap pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan juga terhadap jantung Gereja Katolik, yaitu Kurban Ilahi Ekaristi (Divine Sacrifice of Eucharist). [5] Apa yang seringkali tidak disadari oleh umat Katolik sekarang ini adalah Kurban Kristus dan Kurban Ilahi Ekaristi adalah satu kurban. Ekaristi itu satu kurban Kudus dan Ilahi yang menghadirkan kembali kurban Kristus di salib (bdk. KGK 1330 dan KGK 1366). Oleh karena itu, sungguh sangat tepat mengatakan bahwa Krisis Liturgi merupakan krisis utama dan terbesar Gereja karena Krisis Liturgi ini juga menyerang kurban Kristus di salib.

Adalah sesuatu yang menyedihkan dan memprihatinkan melihat kondisi Perayaan Ekaristi dengan Pelecehan Liturgi yang terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia.  Pelecehan Liturgi telah menjadi hal umum yang dijumpai hampir setiap Minggu dan begitu banyak orang tidak terlalu peduli akan hal ini. Lebih tragisnya, pelecehan yang terus-menerus ini kemudian dianggap sebuah kebiasaan dan dibenarkan. Apa yang terjadi di masa sekarang adalah Liturgi menjadi milik Para Imam dan Umat. Liturgi yang sudah dipromulgasikan oleh Gereja Katolik dengan berdasar pada Kitab Suci dan Tradisi Apostolik kemudian dinodai oleh berbagai bentuk Pelecehan Liturgi baik yang dilakukan oleh kaum tertahbis maupun oleh awam.

Apa saja penyebab terjadi begitu banyak Pelecehan Liturgi? Ada banyak penyebabnya dan bisa jadi begitu kompleks. Berdasarkan pengalaman saya, penyebab-penyebabnya antara lain:

1. Selebran Perayaan Ekaristi (Uskup atau Imam) melupakan tugas mereka sebagai Pelayan Liturgi bukan Pemilik Liturgi. Seperti kata Monsinyur Georg Ratzinger di atas, mereka merasa harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang terjadi tidak lain adalah improvisasi dan inkulturasi Liturgi yang seringkali sangat parah dan kebablasan. Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Monsinyur Antonio Guido Filipazzi mengatakan:
�Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap petunjuk-petunjuk liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.� [6]
Sang Uskup dan Imam pun harus berani menegur dan bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi di sekitar mereka. Membiarkan Pelecehan Liturgi terjadi tanpa ada teguran dan koreksi akan menjerumuskan umat. �Romo gak marah, gak ngelarang tuh, Romo juga gak bilang ini salah, lalu mengapa kamu sok tahu bilang ini salah itu salah?� Kalimat seperti ini akan sering terdengar dari umat atau tim liturgi kala ditegur akibat kekeliruan mereka bila Uskup atau Imam tidak bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi. Ingat, menjadi pelayan Liturgi berarti juga melindungi Liturgi dari pelecehan.

2. Kurangnya Katekese mengenai Liturgi. Ini merupakan problem mendasar yang dialami umat. Ketidaktahuan akan Liturgi serta terjadi pembenaran kebiasaan yang keliru membuat umat tidak menyadari batasan-batasan dalam Liturgi. Tim Liturgi Paroki yang terkadang kurang kompeten juga menjadi salah satu penyebab terjadinya Pelecehan Liturgi. Sebenarnya, melalui homili, imam atau uskup pun bisa menyisipkan berbagai materi katekese mengenai Liturgi yang dapat menambah wawasan umat. Tidak hanya umat yang mengalami minimnya katekese mengenai Liturgi, sejumlah imam pun mengakui bahwa mereka baru mengetahui Pedoman Umum Missale Romanum (Pedoman Gereja Katolik untuk Perayaan Ekaristi, red) setelah beberapa tahun menjadi imam. Kualitas pendidikan mengenai Liturgi di seminari pun harus ditingkatkan kualitasnya bila tidak mau Liturgi terus-menerus dilecehkan.

3. Prinsip �Yang Penting Hati�. Banyak Kaum Tertahbis dan awam senang sekali membenarkan Pelecehan Liturgi dengan kata-kata �yang penting hatinya�. �Gak apa-apa toh, yang penting hatinya.� �Ya sudah, gak usah diributkan, yang penting hatinya. Jangan saklek soal Liturgi.� Prinsip �yang penting hatinya� ini tidak pernah menjadi prinsip Gereja apalagi diajarkan oleh Gereja dan Kitab Suci. Apa yang diajarkan oleh Kitab Suci dan Gereja adalah �Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu (emosional) dan dengan segenap jiwamu (spiritual) dan dengan segenap akal budimu (rasional) dan dengan segenap kekuatanmu (fisikal).� (Mrk 12:30). Inilah empat pilar pondasi kasih sejati dalam mengasihi Allah: emosional, rasional, spiritual, fisikal. Prinsip �Yang penting hati� mereduksi cinta yang seharusnya utuh diberikan kepada Allah dalam Liturgi. Oleh karena itu, marilah kita dari sekarang menghindari prinsip �yang penting hati� dan berusaha memberikan yang terbaik kepada Allah karena Allah telah lebih dulu memberikan yang terbaik buat kita.

4. Ego manusia. �Misa itu membosankan.� �Lagunya gitu-gitu aja, gak berubah.�  �Gimana kalau Homili diganti drama aja biar gak ngantuk?� Banyak tim Liturgi akhirnya menyerah pada ego manusia dan kemudian memasukkan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Liturgi. Atau malah Imamnya sendiri ditodong menjelang Perayaan Ekaristi, �Mo, ntar lagunya pop rohani begini-begini begitu ya, Mo. Ntar ada tambahan ini dan itu.�, dll. Akhirnya, Perayaan Ekaristi pun berjalan sesuai keinginan umat, bukan seturut kehendak Gereja. Akhirnya, Perayaan Ekaristi diadakan sesuai dengan selera umat, bukan seturut aturan Gereja. Pelecehan Liturgi pun terjadi. Uskup Agung Vincent Nichols dari Inggris berkata:
�Liturgi adalah tidak pernah menjadi milik saya sendiri, atau ciptaan saya. Ini adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada kita dari Allah Bapa. Maka dari itu, selera saya sendiri, kecondongan saya sendiri, kepribadian saya, pandangan saya sendiri mengenai eklesiologi, [perlu] dikesampingkan dan tidak penting. ... [Liturgi] tidak pernah digunakan sebagai bentuk ekspresi diri.Yang benar adalah sebaliknya, � Misa adalah tindakan Gereja. Itu yang penting, [dan] bukan pendapat saya.� [7]
Dalam pernyataan ini, Uskup Agung Nichols menekankan bahwa siapapun, baik kaum tertahbis maupun awam, harus meninggalkan  ke-aku-an mereka di dalam Perayaan Ekaristi. Ego-ego seperti ini harus dibuang jauh-jauh. Ingatlah bahwa ego pribadi bisa menjadi berhala yang menjauhkan kita dari Allah. Contohnya: Karena merasa bosan ikut Perayaan Ekaristi, banyak orang Katolik �jajan� ke kebaktian Protestan yang lebih meriah dan asyik. Tanpa disadari, karena ego mereka ini, mereka telah menjauh dari Allah. Mereka lebih memilih hadir di kebaktian Protestan ketimbang menerima Tubuh dan Darah Kristus sendiri dalam Perayaan Ekaristi.

Pelecehan Liturgi di samping merupakan pelecehan terhadap karya keselamatan Kristus, juga menyebabkan melemahnya iman. Jika kita melakukan kesalahan dengan berpikir kita adalah pusat liturgi, Misa [yang dilaksanakan] akan mengakibatkan hilangnya iman,� demikian kata Kardinal asal AS Raymond L. Burke, Ketua Mahkamah Agung Vatikan. Kardinal Canizares, Kepala Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen Gereja Katolik, mengatakan hal senada dengan Kardinal Burke, �Berpartisipasi dalam Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma gereja.� [8]

Bagaimana bisa Pelecehan Liturgi menyebabkan melemahnya iman? Saya pernah membahasnya di artikel ini. Berikut pemaparannya:
Tetapi, seperti kata Kardinal Burke dan Kardinal Canizares, "Misa yang buruk melemahkan iman." Benih-benih kemurtadan akan muncul dan tumbuh subur kelak. Mereka yang terbiasa dengan Pelecehan Liturgi akan membenarkan pelecehan tersebut sebagai kebiasaan. Mereka akan membenarkan kebiasaan yang salah daripada membiasakan hal yang benar. Misa yang buruk yang diselenggarakan "menurut selera umat" perlahan tapi pasti semakin membuat umat merasa bahwa Misa-lah yang harus memenuhi selera mereka. Umat akan semakin berorientasi pada diri sendiri, mencari hal yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Padahal dalam Misa, seluruh ke-aku-an kita haruslah kita tanggalkan. Dalam Misa semuanya berpusat kepada Allah, untuk menyenangkan hati Allah, bukan memenuhi selera umat. Ketika umat merasa Misa tidak memenuhi selera mereka, maka mereka akan jajan ke ibadat Protestan, terus seperti itu dan lama kelamaan murtad dari Gereja Katolik. Kita kelak akan menuai segala keburukan akibat terlalu sering membiasakan Perayaan Ekaristi diutak-atik untuk memenuhi selera umat.

Nah, Misa yang buruk ini juga akan membuat umat lain yang lebih taat dalam Liturgi meninggalkan Gereja. Salah seorang teman saya pindah, keluar dari Gereja Katolik dan menjadi Ortodoks Timur. Salah satu alasannya karena kerap melihat kekacauan Liturgi ketimbang Liturgi yang benar. Dia pun akhirnya melirik ke Ortodoks Timur yang lebih kaku dan tegas soal Liturgi. Hal lain lagi, umat yang tradisionalis pun bisa keluar dari Gereja Katolik dan memilih menjadi anggota SSPX karena di SSPX mereka bisa menemukan penyelenggaraan Misa yang setia dan tegas. Misa yang buruk jelas melemahkan iman umat, baik yang taat maupun yang tidak taat.
Kesimpulannya, Krisis Liturgi sungguh merupakan krisis utama Gereja Katolik saat ini. Krisis ini mempengaruhi Gereja secara luas dan perlu dihentikan. Peran serta kaum tertahbis maupun awam sangat diperlukan untuk meredakan Krisis Liturgi ini. Di samping itu, baik kaum tertahbis maupun awam memanglah harus kaku, taat, disiplin dan setia terhadap aturan-aturan Liturgi itu sendiri. Hendaklah kekakuan, ketaatan, kedisiplinan dan kesetiaan ini dipandang sebagai bentuk kasih kepada Allah dalam Ekaristi dan juga kasih kepada Gereja. Tanamkanlah dalam pikiran kita bahwa Ekaristi adalah Kurban untuk pereda kemarahan Allah dan pendamai hubungan kita dengan Allah yang rusak karena dosa-dosa kita. Dengan melecehkan Liturgi dan Ekaristi yang adalah anugerah Allah, bukankah kita justru telah menyakiti hati Allah?

Sementara kita harus memaklumi sulitnya menerapkan Liturgi yang baik dan benar di daerah pedalaman Indonesia karena sulitnya akses informasi, kita tetap harus mendorong pembaharuan Liturgi di daerah-daerah kota yang sudah memiliki akses informasi yang jauh lebih baik. Dengan begini, akan tercapai sebuah Perayaan Ekaristi yang indah dan berkenan di hati Allah. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.� (Luk 16:10)


Referensi dan Sumber:
[1]. Cardinal Ratzinger (kemudian Paus Benediktus XVI), Condensed from the 30 Days printing of Cardinal Ratzinger's preface to La Reforme liturgique en question, by Klaus Gamber, Editions Sainte-Madeleine.
[2]. Cardinal Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927 � 1977 The Regensburg Years
[5]. Istilah �Kurban Ilahi Ekaristi� diambil berdasarkan Sacrosanctum Concilium 2.

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap Paus Benediktus XVI, Paus Liturgi. Pax et Bonum

Wednesday, February 22, 2012

Gambar Minggu Ini - Pemberian Abu

Gambar Rohani Rabu Abu
Rabu Abu
Gambar di atas mengisahkan momen pada saat umat menerima abu tanda pertobatan dari seorang Uskup pada abad pertengahan. Kalimat �Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.� (Kej 3:19) diucapkan Sang Uskupp kala ia menandai umat dengan abu. Kalimat di atas aadalah kalimat yang tertua dan ppertama yang digunakan dalam Hari Rabu Abu.

Warna Liturgi: Ungu
Tipe Hari Raya : Hari Berpuasa dan Berpantang
Waktu dalam Tahun Liturgi: Hari Pertama Masa Prapaskah (Kalender Gereja Katolik Roma)
Durasi: Satu Harii
Perayaan/Simbolisasi: Pertobatan, Berkabung, Kerendahan Hati
Nama Lain: Dies Cinerum (Hari Abu)
Referensi Kitab Suci: Matius 4:1-11; Lukas 4:1-13; Ester 4:1-3; Yun 3:5-6; Dan 9:3; Mat 11:21

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan ssesal / tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya ttentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, �Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.� (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.  

Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, �Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.� (Mat 11:21)*

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya �De Poenitentia�, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah �hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.� Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya �Sejarah Gereja� bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan �Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.� Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, �Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?� Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, �Saya puas.� Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan �Rabu Abu� ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, �Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah.� Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, �Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,� atau �Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.� Sementara kita memasuki Masa Prapaskah yang kudus ini guna menyambut Paskah, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.

Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Prapaskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa Prapaskah tahun 2003 mengatakan, �Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat beriman akan mendapati Masa Prapaskah ini sebagai masa yang menyenangkan untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati.� Beliau juga menyesali bahwa �abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa berkeriapan dalam hati manusia � Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap saudara-saudari mereka.�            

Dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.

Sumber:

Saturday, February 18, 2012

Respon terhadap Pelanggaran Liturgi dalam Misa Valentine 2012

Salah satu foto dokumentasi Misa Valentine 14 Februari 2012 di Paroki St. Antonius Purbayan
Misa Valentine yang dirayakan pada tanggal 14 Februari 2012 di Gereja St. Antonius Purbayan, Solo, membuat geger dan prihatin banyak umat Katolik yang peduli terhadap Liturgi dan Ekaristi. Foto-foto dalam album Misa Valentine yang diselenggarakan di paroki ini menunjukkan sejumlah pelanggaran Liturgi yang serius antara lain:

1. Umat diizinkan menyambut Komuni Kudus dengan cara �Oreo� atau mencelup sendiri Tubuh ke dalam Darah Kristus. Hal ini melanggar aturan Gereja mengenai Ekaristi dalam dokumen Redemptionis Sacramentum 104: �Umat yang menyambut, tidak boleh diberi izin untuk sendiri mencelupkan Hosti ke dalam Piala; tidak boleh juga ia menerima Hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya. Hosti yang dipergunakan untuk pencelupan itu harus dikerjakan dari bahan sah dan harus sudah dikonsekrir; untuk itu dilarang memakai roti yang belum dikonsekrir atau yang terbuat dari bahan lain.


2. Imam memimpin Misa tidak menggunakan Busana Liturgi yang lengkap. Dalam berbagai foto di album tersebut, Imam yang memimpin Misa hanya menggunakan stola. Hal ini melanggar aturan Gereja mengenai Ekaristi dalam dokumen Redemptionis Sacramentum 126: �Tidak dapat disetujui bahwa para petugas suci merayakan Misa Kudus atau cara-cara liturgi lain tanpa busana suci atau dengan hanya stola di atas busana rahib atau biara atau di atas pakaian biasa. Hal ini berlawanan dengan apa yang ditentukan dalam buku-buku liturgi. Hal ini berlaku juga bila satu pelayan mengabil bagian. Demi memperbaiki penyewengan-penyelewengan itu secepat mungkin, para ordinasi hendaknya memperhatikan agar di semua gereja dan kapela yang berada di bawah yurisdiksi mereka, tersedialah busana liturgis yang secukupnya coraknya sesuai dengan norma-norma.

Album ini pun langsung menjadi medan diskusi baik yang membela pelanggaran Liturgi tersebut maupun yang menegaskan aturan Liturgi sembari menolak pelanggaran Liturgi tersebut. Well, saya pun akhirnya memberi sejumlah tanggapan di sana. Dalam artikel ini, saya hendak mengarsipkan sebuah tanggapan saya terhadap pertanyaan salah seorang yang berdiskusi di sana. Pertanyaannya dalam tulisan MERAH, dan tanggapan saya dalam tulisan Hitam dengan sejumlah perbaikan kata.

PERTANYAAN: Tapi tetap saja saya belum bisa memahami apakah tindakan OMK Purbayan salah di mata Allah. Pertanyaan dalam hati saya, apakah setelah perayaan ekaristi itu anak-anak mudanya langsung murtad dan meninggalkan Gereja Katolik? Atau malah justru mereka semakin mencintai Kristus dan Gerejanya?

TANGGAPAN: Kurban Kudus Misa (Perayaan Ekaristi) adalah untuk mendamaikan Allah dengan manusia, untuk meredakan kemarahan Allah atas dosa-dosa manusia. Liturgi untuk merayakan Kurban Kudus Misa adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada Gereja untuk diajarkan kepada kita supaya kita tahu bagaimana menyenangkan hati Allah, berdamai dengan Allah. Ingat, Liturgi tidak diserahkan Allah kepada masing-masing pribadi manusia, tetapi hanya kepada Gereja saja. Gereja lebih tahu mana yang menyenangkan hati Allah ketimbang kita masing-masing. Pelanggaran terhadap Liturgi merupakan suatu kesalahan, tidak hanya di mata Gereja yang diserahi tanggungjawab untuk mengajarkannya, tetapi juga suatu kesalahan di mata Allah sebagai penganugerah Liturgi tersebut.

Setelah Perayaan Ekaristi tersebut, memang mereka tidak langsung murtad dan meninggalkan Gereja. Tetapi, seperti kata Kardinal Burke dan Kardinal Canizares, "Misa yang buruk melemahkan iman." Benih-benih kemurtadan akan muncul dan tumbuh subur kelak. Mereka yang terbiasa dengan pelanggaran liturgi akan membenarkan pelanggaran tersebut sebagai kebiasaan. Mereka akan membenarkan kebiasaan yang salah daripada membiasakan hal yang benar. Misa yang buruk yang diselenggarakan "menurut selera kaum muda" perlahan tapi pasti semakin membuat kaum muda merasa bahwa Misa-lah yang harus memenuhi selera mereka. Kaum muda akan semakin berorientasi pada diri sendiri, mencari hal yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Padahal dalam Misa, seluruh ke-aku-an kita haruslah kita tanggalkan. Dalam Misa semuanya berpusat kepada Allah, untuk menyenangkan hati Allah, bukan memenuhi selera umat. Ketika kaum muda merasa Misa tidak memenuhi selera mereka, maka mereka akan jajan ke ibadat Protestan, terus seperti itu dan lama kelamaan murtad dari Gereja Katolik. Kita kelak akan menuai segala keburukan akibat terlalu sering membiasakan Perayaan Ekaristi diutak-atik untuk memenuhi selera umat (kaum muda khususnya).

Nah, Misa yang buruk ini juga akan membuat kaum muda lain yang lebih taat dalam Liturgi meninggalkan Gereja. Salah seorang teman saya pindah, keluar dari Gereja Katolik dan menjadi Ortodoks Timur. Salah satu alasannya karena kerap melihat kekacauan Liturgi ketimbang Liturgi yang benar. Dia pun akhirnya melirik ke Ortodoks Timur yang lebih kaku dan tegas soal Liturgi. Hal lain lagi, kaum muda yang tradisionalis pun bisa keluar dari Gereja Katolik dan memilih menjadi anggota SSPX karena di SSPX mereka bisa menemukan penyelenggaraan Misa yang setia dan tegas (well, saya nyaris seperti ini, melirik kelompok ultra-tradisionalis).  Misa yang buruk jelas melemahkan iman kaum muda, baik yang taat maupun yang tidak taat.

Saya sering membaca artikel-artikel luar negeri dan di sana dipaparkan dengan jelas bahwa krisis Liturgi menurut Paus, banyak Kardinal dan Uskup adalah krisis terbesar yang dihadapi Gereja saat ini. Ini contohnya, dari Kardinal Koch: �The Crisis of the Church is Above All a Crisis of the Liturgy�. Paus Benediktus XVI malah sudah menulis buku "The Spirit of Liturgy" untuk menjelaskan Liturgi yang benar.

Saya juga kaum muda, dan syukur kepada Allah, saya semakin sadar pentingnya ketaatan dalam Perayaan Ekaristi. Anyway, jawaban saya sudah kepanjangan, nanti semakin dicap sebagai "orang farisi" lagi. Tapi, tidak apa-apa dicap demikian daripada membiarkan yang salah terus terjadi tanpa berbuat apa-apa. Pax et Bonum

Monday, January 23, 2012

Cara Penerimaan Komuni di Tangan yang Keliru


Uskup Athanasius Schneider dari Karaganda (Kazakhstan)
Dari Uskup Athanasius Schneider tentang cara penerimaan Komuni di tangan yang keliru: 

"... Sekarang ini kita melihat Hosti diletakkan di telapak tangan kiri dan ini merupakan kengerian Bapa Gereja Kuno. Bagaimana mungkin Yang Terkudus itu bisa ditaruh di tangan kiri? Seharusnya kita menerima Komuni Kudus dengan tangan kanan, kemudian kita membungkukkan kepala yang dalam untuk memakan dengan mulut Sakramen Mahakudus yang sudah diletakkan di telapak tangan kita. Sebelum menyambut Komuni, kita harus membersihkan tangan kita terlebih dahulu karena kita menyentuh begitu banyak benda kotor, termasuk uang yang kotor. Sungguh merupakan suatu kontradiksi bila dengan tangan yang kotor itu kita kemudian pergi menerima Sakramen Mahakudus." Tabloid SABDA No.123/ Thn XIV/2011

Biasanya kita menerima Hosti di tangan kiri di atas lalu dengan jari tangan kanan diambil lalu dimasukkan ke mulut. Nah, ini kurang tepat. Hendaknya kita menerima Hosti dengan tangan kanan di atas lalu kita membungkuk dan mengambil Hosti di tangan kanan itu langsung dengan mulut tanpa harus disentuh jari tangan.


http://www.catholicherald.co.uk/wp-content/themes/cherald/cache/65f2184a2c5ca747327bc7a3420c00d9.jpg
Posisi tangan kanan di atas tangan kiri


pax et bonum

Sunday, January 22, 2012

Anak-anak dan Ekaristi: Suatu Kerinduan Belaka atau Suatu Tantangan bagi Orang Tua?


Oleh: Ling-ling (Ibu Rumah Tangga berdomisili di Bandung)

Membawa anak-anak untuk mengikuti Misa Ekaristi di hari Minggu sungguh merupakan satu kerinduan yang besar bagi kebanyakan orang tua, tetapi sekaligus membutuhkan perhatian yang tak kenal lelah, tak kenal malu, dan tenaga ekstra karena tidak semua anak-anak bisa duduk manis dan diam selama Misa berlangsung.

Kebanyakan Misa memang dikhususkan bagi orang dewasa atau yang kita kenal dengan istilah Misa untuk umum. Anak-anak yang hadir dalam Misa untuk umum itu kadang kala dianggap sebagai gangguan. Banyak umat yang merasa terusik dengan kehadiran anak-anak kecil di tengah berlangsungnya Ekaristi. Anak-anak kecil yang mondar-mandir berlarian di dalam Gereja, menimbulkan bunyi-bunyian atau rengekan meminta mainan, makanan, minuman, dan lain-lain. 

Keberadaan mereka itu dirasa merecoki perayaan yang tengah berlangsung. Pandangan umat yang merasa terganggu kadang sudah cukup membuat para orang tua tersebut, berjingkat, dan segera mengangkat anaknya keluar dari dalam gereja dan membiarkan mereka bermain di halaman gereja atau mungkin meninggalkan anak-anak mereka di Sekolah Minggu selama Misa berlangsung. Atau cara lainnya membawa aneka permainan dan gambar sehingga anak-anak tersebut bisa disibukkan selama Misa berlangsung atau yang paling mudah dan tidak merepotkan yaitu meninggalkan anak-anak tersebut di rumah saja.

Kenyataan tersebut di atas menimbulkan pergumulan tersendiri di hati para orang tua. Di satu sisi, mereka merindukan anak-anak terbiasa berada di �rumah� Tuhannya, mengenal liturgi dan tentu saja dengan harapan nantinya si anak menghayati dan mencintai makna misteri Ekaristi tersebut. Akan tetapi, di sisi lain, harus menerima kenyataan bahwa kehadiran anak-anak memang mengusik keheningan yang seharusnya tercipta pada saat umat berusaha berdoa dan mengikuti Misa yang sedang berlangsung.

Lalu bagaimana agar anak-anak itu bisa menghayati dan mencintai Liturgi? Bagaimana mereka bisa tumbuh dalam persatuan dengan Kristus dan dengan saudara-saudara seiman, di mana tanda dan jaminan persatuan itu adalah keikutsertaan dalam Perjamuan Ekaristi, jikalau mereka tidak mendapat kesempatan untuk mengambil bagian di dalamnya?

Jawaban dari pertanyaan di atas membutuhkan kerjasama berbagai pihak, baik dari pihak gereja; paroki sebagai tempat terselenggaranya Misa anak-anak, dari pembina Sekolah Minggu dan yang paling utama dan memegang peranan penting adalah keluarga.

Peran Keluarga

Keluargalah yang memainkan peranan pertama dan terpenting dalam usaha menanamkan nilai-nilai manusiawi dan Kristen itu dalam hati anak-anak mulai sejak dini. Maka sangat perlu bahwa pendidikan Kristen yang diberikan oleh orang tua dan anggota lain dalam keluarga dibantu serta diarahkan kepada pembinaan liturgi.

Ketika anak-anak dibaptis, orang tua dengan bebas menerima tanggungjawab untuk mengajar anaknya setiap hari dan wajib pula membimbing mereka agar dapat berdoa sendiri. Selain itu, orang tua harus mengupayakan agar anak-anak berkembang sesuai dengan taraf pertumbuhannya, bukan hanya dalam menghayati hal-hal ilahi pada umumnya, melainkan juga dalam mengalami nilai-nilai manusiawi yang terdapat dalam perayaan Ekaristi.

Yang dimaksudkan dengan nilai-nilai manusiawi itu misalnya kebersamaan, memberikan salam, kemampuan untuk menyimak, kemampuan untuk minta ampun, dan mengampuni, mengungkapkan rasa terimakasih, penghayatan lambang-lambang, jamuan persahabatan, perayaan dan lain sebagainya. (PMBA 9)

Inilah tugas katekese Ekaristi, yaitu memperkenalkan nilai-nilai manusiawi tersebut kepada anak-anak, sehingga tahap demi tahap jiwa mereka terbuka untuk menangkap nilai-nilai Kristen dan untuk merayakan misteri Kristus sesuai dengan umur dan keadaan psikologis maupun sosial.

Tentu saja selain orang tua, katekese Ekaristi ini dapat diperdalam melalui pelajaran agama di sekolah, di Bina Iman Sekolah Minggu, dan juga menjelang persiapan komuni pertama (PMBA 12). Di situlah orang-orang tertentu yang cakap dan terlatih dalam pendidikan religius anak berperan besar (katekis, guru agama, wali baptis, pastor dsb).

Kalau anak-anak dari kecil dipersiapkan demikian, dan selalu diajak menghadiri Misa bersama dengan keluarga, maka mereka akan lebih mudah ikut bernyanyi dan berdoa bersama dengan umat bahkan sedikit banyak menghayati makna misteri Ekaristi.

Catatan Praktis untuk Orang Tua

Kehadiran anak dalam Misa untuk orang dewasa seperti dikatakan di atas, sering mengganggu umat yang lain. Tetapi, wahai para orang tua, janganlah itu sampai memupuskan kerinduan kita agar anak-anak tersebut mengenal Liturgi Ekaristi tersebut.

Ingatlah selalu di tangan orang tua-lah, anak-anak tersebut mengenal dan mencintai Allah. Jadi janganlah lelah dan putus asa mengusahakan sesuatu yang maksimal untuk pertumbuhan kerohanian anak-anak kita.

Beberapa saran berikut diharapkan bisa membantu para orang tua membawa kehidupan Kristus dan Gereja-Nya menjadi bagian dari kehidupan anak-anak.

*. Kehidupan doa pribadi anak dimulai dari orang tua. Keluarga yang tidak berdoa membuat anak-anaknya tidak memiliki budaya doa, budaya cinta, dan takut akan Tuhan. Maka ketika dibawa ke gereja, anak-anak mengamuk, anak-anak tidak mampu bertahan dalam suasana doa. Sebaliknya keluarga yang memiliki kebiasaan doa tidak banyak menemukan kesulitan dalam membesarkan anak-anaknya dalam kedekatan akan Tuhan, dalam doa dan ekaristi. Ada kalimat bagus yang bisa menjadi pemacu semangat untuk orang tua dalam memiliki hidup doa. �Bahwa sungguh, hai orang tua, di matamu, di tangan terkatupmu, di doamu, di bibirmu, anak-anakmu mengenal Allah, anak-anakmu mencintai doa.� Sungguh indah, bukan?

*. Mengusahakan minimal satu bulan satu kali mencari paroki yang mengadakan Misa untuk anak-anak. Dengan demikian, anak-anak dapat mengikuti Misa Kudus dari awal hingga berkat penutup bersama teman-teman sebayanya. Sedangkan di minggu-minggu lain, bisa bergabung dengan paroki yang memperbolehkan anak-anak tersebut mengikuti Misa umum dari awal dan keluar saat homili untuk bergabung dengan Sekolah Minggu dan masuk kembali untuk mendapatkan berkat. [Tambahan dari Indonesian Papist: Di Paroki saya di Bandung, Paroki St. Melania, anak-anak Sekolah Minggu masuk kembali ke Gereja saat penerimaan Komuni. Mereka kemudian mengantri menerima berkat dari imam setelah antrian penerimaan Komuni selesai.]

*. Umumnya, Anak-anak menyukai rutinitas dan persiapan. Segala yang mendadak membuat mereka tidak nyaman. Maka sejak Sabtu sore, mulailah mengingatkan anak-anak bahwa kita semua akan beribadah besok, merayakan hari Tuhan bersama-sama. Kita akan berdoa, akan menyalakan lilin di gereja. �Ayo, apa intensi atau ujud doamu besok? Pakaian mana yang hendak kamu kenakan?�. Dengan demikian mereka merindukan dan mempersiapkan diri secara rohani dan jasmani untuk Misa besok.

*. Datang lebih awal Misalnya 15 menit sebelum Misa Kudus dapat menghindari keributan dan gangguan pada ibadah yang berjalan.

*. Pastikan sebelum Misa Kudus dimulai, mereka telah diberi uang untuk kolekte.

*.  Sebelum ke gereja, ajaklah anak-anak pergi ke WC, atau minum secukupnya.

*. Miliki selalu lembaran lagu atau teks bacaan bahkan Kitab Suci dan buku lagu untuk digunakan bersama anak jika mereka telah dapat membaca.

*. Ajarkan mereka memegang buku doa atau lagu dengan baik dan benar.

*. Jika usia sudah mencukupi, anjurkanlah mereka untuk menjadi misdinar, atau mengambil peran dalam Misa Kudus. Biasakanlah anak-anak kita tumbuh dekat dengan altar Tuhan.

*. Melatih anak-anak menghafal dialog-dialog dalam Misa agar mereka terlibat mengikuti perayaan dengan baik.

*. Perhatikan dengan seksama apakah mereka bisa membuat simbol-simbol dan gerakan liturgis dengan baik, berlutut dengan benar, membuat tanda salib, dan lain-lain.

*. Sesudah Perayaan Ekaristi, tanyakanlah kepada anak-anak apa yang mereka sukai atau kurang sukai selama Misa tadi. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, mereka terbantu mengenal Perayaan Misa.

*. Sebelum Misa, ingatkan ujud pribadi, keluarga dan apa yang didoakan saat menerima Yesus.

*. Seringkali saat ibadah, mereka bertanya tentang sesuatu hal. Jangan bentak dan suruh diam. Usahakan jawab singkat atau dengan lembut katakanlah nanti sesudah Misa diterangkan secara panjang lebar. Dan tentu, jangan lupa memenuhi janji kita tersebut.

Tetaplah Berharap

Marilah para orang tua, kita tetap memiliki harapan yang besar untuk anak-anak kita. Benar memang, mungkin pada saat kita mencoba mempraktekkannya, tidak akan semudah seperti apa yang tertulis di atas. Kita akan jatuh bangun. Semua butuh waktu dan proses. Mungkin anak-anak kita akan tetap berteriak atau tak bertahan lama tinggal di dalam gereja, tetapi kembali lagi kepada kerinduan yang ada di lubuk hati terdalam dari setiap orang tua untuk pertumbuhan kerohanian anak-anaknya. Tiada anak yang serupa sama, tiap anak adalah unik adanya dengan karakter yang berbeda. Jadi, wahai para orang tua, janganlah jemu dan lelah untuk terus mencoba dengan berbagai pendekatan, nasihat dan tentu saja tak lupa segudang kasih sayang dan doa tiada henti!


Sumber Inspirasi: Rm. Terry TH Ponomban, Pr
Pedoman Misa Bersama Anak-Anak (PMBA atau Directorium de Missis cum Pueris, Roma, 1 November 1973)
Artikel ini dipublikasikan di Buletin Fraternite No. 10, April 2010.

Pax et Bonum