Latest News

Showing posts with label Artikel Seputar Ajaran Katolik. Show all posts
Showing posts with label Artikel Seputar Ajaran Katolik. Show all posts

Wednesday, December 28, 2011

Mengapa Allah Menjadi Manusia?


Kanak-kanak Yesus di Vatikan - abbey-road.blogspot.com
Kita sedang merayakan Natal, kelahiran Sang Juruselamat dunia. Sang Keselamatan itu hadir ke dunia, Sang Keselamatan itu bayi manusia yang dilahirkan di Betlehem. Allah yang mahatinggi itu menjadi manusia untuk menyelamatkan kita.

Saya yakin banyak di antara kita umat Katolik sering ditanya, �ngapain sih Tuhan repot-repot jadi manusia? bukankah Ia mahakuasa dan dengan mudah bisa menyelamatkan manusia?�

Dua tahun lalu (2009) ketika saya masuk ke sebuah grup diskusi lintas agama antara Kristen dan Islam di facebook, umat Muslim tersebut menanyakan hal yang sama kepada saya.

Sungguh benar bahwa Allah itu mahakuasa dan memang dengan mudah Ia bisa menyelamatkan manusia. Tetapi Allah yang mahakuasa itu hendak menunjukkan tidak hanya kuasa-Nya, tetapi juga kasih-Nya kepada manusia secara nyata. Oleh karena itu Ia menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Nah, sampai di sini, mereka bertanya �Apakah tanpa menjadi manusia, Allah tidak dapat menunjukkan kasih-Nya?�.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggarisbawahi bahwa memilih menjadi manusia itu adalah kehendak bebas Allah sendiri. Allah memang mahakuasa tetapi Ia juga memiliki kehendak bebas-Nya sendiri untuk menggunakan segala kuasa-Nya tersebut. Darimana kita tahu apa saja kehendak Allah sehingga Ia memilih menjadi manusia? Dari Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja.

Dan, apa saja kehendak Allah itu sehingga Ia memilih menjadi manusia?

1. Allah menjadi manusia sebab Ia hendak mendamaikan kita dengan diri-Nya dan dengan demikian menyelamatkan kita.
(Katekismus Gereja Katolik 457) Allah "telah mengasihi kita dan telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita" (1 Yoh 4:10). Kita tahu bahwa "Bapa telah mengutus Anak-Nya menjadi Juru Selamat dunia" (1 Yoh 4:14), bahwa "Ia telah menyatakan Diri-Nya, supaya Ia menghapus segala dosa" (1 Yoh 3:5):
"Kodrat kita yang sakit membutuhkan dokter; manusia yang jatuh membutuhkan orang yang mengangkatnya kembali; yang kehilangan kehidupan membutuhkan seorang yang memberi hidup; yang kehilangan hubungan dengan yang baik membutuhkan seorang yang membawanya kembali kepada yang baik; yang tinggal dalam kegelapan merindukan kedatangan sinar; yang tertawan merindukan seorang penyelamat, yang terbelenggu seorang pelepas, yang tertekan di bawah kuk perhambaan memerlukan seorang pembebas. Bukankah itu hal-hal yang cukup berarti dan penting untuk menggerakkan Allah, sehingga Ia turun bagaikan seorang dokter yang mengunjungi kodrat manusiawi, setelah umat manusia terjerat dalam situasi yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan" (Bapa Gereja St. Gregorius dari Nisa, or.catech. 14).
2. Allah menjadi manusia sebab Ia ingin supaya kita mengenal cinta kasih Allah.
(KGK 458) "Kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia, supaya kita hidup oleh-Nya" (1 Yoh 4:9). "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh 3:16).
3. Allah menjadi manusia sebab Ia hendak menjadi contoh kekudusan yang sempurna bagi kita.
(KGK 459) "Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku" (Mat 11:29). "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yoh 14:6). Dan di atas gunung transfigurasi, Bapa memerintah: "Dengarkanlah Dia" (Mrk 9:7) Bdk. Ul 6:4-5.. Yesus adalah gambaran inti dari sabda bahagia dan norma hukum yang baru: "Supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu" (Yoh 15:12). Kasih ini menuntut penyerahan diri sendiri, dengan mengikutinya Bdk. Mrk 9:34..
4. Allah menjadi manusia sebab Ia ingin supaya kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi.
(KGK 460) "Untuk itulah Sabda Allah menjadi manusia, dan Anak Allah menjadi anak manusia, supaya manusia menerima Sabda dalam dirinya, dan sebagai anak angkat, menjadi anak Allah" (Ireneus, haer. 3,19,1). Sabda Allah "menjadi manusia, supaya kita di-ilahi-kan" (Atanasius, inc. 54,3). "Karena Putera Allah yang tunggal hendak memberi kepada kita bagian dalam ke-Allah-an-Nya, Ia menerima kodrat kita, menjadi manusia, supaya mengilahikan manusia" (Tomas Aqu., opusc. 57 in festo Corp. Chr. 1).

Sang Keselamatan itu hadir secara nyata, terlihat, terekam dan masuk dalam sejarah manusia. Yesaya 35:4-6 menubuatkan bahwa Allah sendiri datang menyelamatkan manusia.
35:4 Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!"
35:5. Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka.
35:6 Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara;
Allah hendak datang sendiri ke dunia untuk menyelamatkan manusia. Siapakah kita yang berani melawan kehendak bebas Allah? Lagipula, bukankah Allah telah menunjukkan salah satu kuasa-Nya dimana Ia mampu  menjadi manusia sepenuhnya tanpa harus kehilangan kodrat ilahi-Nya?
"Sang Ada, yang membuat ada segala yang kelihatan dan tidak kelihatan; lahir dan rela menjadi hamba dan hampa demi segala citra-Nya. Sungguh, misteri agung yang mengagumkan yang pernah ada, tetap ada dan akan terus ada. "- Severinus Klemens
Pax et Bonum

Monday, December 12, 2011

St. Peter as a Vicar of Christ based on Tradition of the Syriac Church of Antioch


Here is Simon, whom the Lord thrice called upon (saying): �Feed Me My rams and My gentle sheep. I entrust thee with the keys of My spiritual treasury, that thou mayest bind and loose on carth and in heaven. I will install thee Vicar of the heavenly kingdom; rule justly, and govern the children of thy household (the Church)." Syro-Chaldean Liturgy in Comm. SS. Apost. Petri et Pauli. Cod. Vatic. (Syriac) 86, p. 35

Then Peter deservedly received the Vicariate (of Christ) over His people. St. Ephrem., in Sermone de Martyrio, SS. Ap. Petri et Pauli. Cod. Vatic. (Arabic); 199, p. 194, a tergo

And Simon Peter was their head (of the Apostles) ; holding the throne of Christ upon earth. Amrus Matthaei, Nestorian Hist. Cod. De Prop. (Arabic), 45, p. 63

I thas been naturally provided by the Creator that children should not disinherit their parents, but on the contrary, fathers should have authority over their children. . . . Now all perfection should prevail in the Holy Church; so that as one is the veritable Father, one His Son, our Saviour Jesus Christ, one His Spirit, the Paraclete; so also one is His faithful Vicar, Simon Barjona, who has been called (Kipho) the Rock, as (Christ) Himself had promised to him, saying: �Upon this Rock, I will build My Church.� And again, � To thee i will give the keys of the kingdom of heaven.� Nestor. Synod.,(sub Patriarch Dadishoo). Cod. De Prop. (Syriac), 27, p.277.



source: The Tradition of the Syriac Church of Antioch, written by Most Rev. Cyril Behnam Benni (Syriac Archbishop of Mosul)

Pax et Bonum

Monday, October 3, 2011

Paus Benediktus XVI, St. Siprianus dari Kartago dan Extra Ecclesiam Nulla Salus

St. Siprianus

Dalam Audiensi Umum tanggal 6 Juni 2007, Bapa Suci Benediktus XVI berbicara mengenai salah seorang Bapa Gereja abad ke-3 yang sangat terkenal akan keteguhan imannya dan kesetiaannya pada Gereja Katolik. Bapa Gereja itu adalah Santo Siprianus dari Kartago. St. Siprianus dari Kartago ini adalah Uskup Afrika pertama yang mendapatkan mahkota kemartiran. Pada artikel kali ini, saya mengangkat pembicaraan Bapa Suci Benediktus XVI mengenai St. Siprianus berkaitan dengan pengajaran Sang Santo mengenai Gereja dan Extra Ecclesiam Nulla Salus. Perlu diketahui sebelumnya, kalimat yang terkenal "Extra Ecclesiam Nulla Salus" ini pertama kali diucapkan secara eksplisit oleh St. Siprianus sekalipun pengajaran ini sudah ada sejak awal Gereja berdiri. Mari kita baca pernyataan Bapa Suci Benediktus XVI berikut ini:


Sungguh, Gereja adalah subyek pembicaraan yang paling dia (St. Siprianus) sukai. Ia membedakan antara Gereja yang tampak, hierarkis dengan Gereja yang tidak tampak, mistik. Tetapi ia menegaskan dengan keras bahwa hanya ada Satu Gereja, [Gereja] yang didirikan di atas Petrus.


Dengan tak pernah lelah diulanginya bahwa, �orang yang meninggalkan Tahta Petrus, yang di atasnya Gereja telah dibangun, menipu diri kalau mengira mereka masih di dalam Gereja.�1

Siprianus tahu betul bahwa �Di Luar Gereja tidak ada keselamatan� dan mengungkapkannya dengan kata-kata yang tegas.2 Ia juga tahu bahwa �tak seorang pun dapat mempunyai Allah sebagai Bapa kalau tidak mempunyai Gereja sebagai Ibu�3

Suatu ciri Gereja yang mutlak perlu adalah kesatuan, yang dilambangkan oleh Jubah Kristus yang tidak berjahit.4 Menurut Siprianus, kesatuan itu berdasarkan Petrus5 dan diwujudkan dengan sempurna dalam Ekaristi.6

�Allah adalah satu, dan Kristus adalah satu, dan iman adalah satu dan ada satu umat Kristiani yang dipersatukan dengan kokoh oleh semen kerukunan. Persatuan tidak dapat diputuskan. Dan apa yang karena kodratnya adalah satu tidak dapat dipisahkan.�7

[1] De Unitate 4.
[2] Epistula 4,4 dan 73,21
[3] De Unitate 6.
[4] De Unitate 7.
[5] De Unitate 4.
[6] Epistula 63,13
[7] De Unitate 23

Pax et Bonum

Wednesday, September 28, 2011

Alasan mengapa umat Protestan tidak boleh menerima Komuni Kudus dalam Perayaan Ekaristi Gereja Katolik



Dapatkah umat Protestan menerima Komuni Kudus dalam Perayaan Ekaristi Gereja Katolik? TIDAK
Dapatkah umat Katolik menerima roti dan anggur perjamuan dalam ibadah Protestan? TIDAK
Baca penjelasannya berikut ini.
-------------------------

Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja menggambarkan Misa - �Kurban Ekaristi� - sebagai �sumber dan puncak seluruh hidup kristiani� (no. 11). Sebagai umat Katolik, kita sungguh percaya bahwa Kurban Misa, melampaui batas waktu dan ruang, secara sakramental menghadirkan kembali kurban Kristus: �Misa adalah serentak, dan tidak terpisahkan, kenangan kurban di mana kurban salib hidup terus untuk selama-lamanya perjamuan komuni kudus dengan tubuh dan darah Tuhan.� (Katekismus Gereja Katolik, No. 1382). Oleh kehendak Bapa Surgawi, dengan kuasa Roh Kudus, dan imamat Yesus Kristus, yang melalui Sakramen Imamat dipercayakan kepada imam-Nya yang bertindak atas nama-Nya, maka roti dan anggur sungguh menjadi (di-transsubstansiasi-kan menjadi) Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an Kristus.


Salah satu buah terbesar dari Komuni Kudus, sesuai Katekismus No. 1396, ialah bahwa Ekaristi Kudus membangun Gereja:
�Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan.�
Karenanya, dengan menyambut Komuni Kudus kita sungguh dipersatukan dalam persekutuan umat beriman Katolik yang saling berbagi iman, ajaran-ajaran, tradisi, sakramen, dan kepemimpinan yang sama. 
Berdasarkan perinsip tersebut, kita dapat menjawab pertanyaan pertama: Dapatkah umat Katolik menerima komuni dalam suatu Gereja Protestan atau sebaliknya? Konsili Vatikan II memaklumkan bahwa gereja-gereja Protestan �'terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya' (UR 22). Karena alasan ini, maka bagi Gereja Katolik tidak mungkin ada interkomuni Ekaristi dengan persekutuan-persekutuan ini.� (Katekismus, No. 1400).
 
Pernyataan ini tidak beranggapan bahwa gereja-gereja Protestan tidak mengenangkan wafat dan kebangkitan Kristus dalam pelayanan perjamuan mereka atau percaya bahwa hal tersebut melambangkan persekutuan dengan Kristus. Namun demikian, teologi Protestan berbeda dengan teologi Katolik dalam hal Ekaristi Kudus mengenai kehadiran nyata Kristus, transsubstansiasi, kurban Misa, dan hakikat imamat. Karena alasan ini, kaum Protestan, meskipun mungkin Kristen yang saleh, tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus dalam Perayaan Misa, demikian juga umat Katolik tidak diperkenankan menerima roti dan anggur dalam kebaktian Protestan.

Bapa Suci kita, dalam ensikliknya yang indah, �Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja� (Ecclesia de Eucharistia) mengajarkan,
�Umat beriman Katolik, sembari menghormati keyakinan agama dari saudara-saudari yang terpisah, pantas menghindarkan menerima komuni perayaan mereka, agar tidak timbul salah paham tentang hakikat Ekaristi, dan selanjutnya tidak menyalahi kewajiban menyaksikan kebenaran dengan jelas. Yang sebaliknya akan memperlambat kemajuan upaya menuju kesatuan nyata yang penuh. Mirip dengan itu, juga tak masuk akal menggantikan Misa hari minggu dengan perayaan sabda ekumenis atau ibadat doa bersama dengan umat kristiani dari jemaat-jemaat Gereja yang disebutkan di atas, atau bahkan dengan mengambil bagian dalam ibadat mereka. Perayaan dan ibadat seperti itu, kendati dalam keadaan tertentu pantas dipuji, sebagai persiapan bagi tujuan kesatuan yang penuh, termasuk komuni Ekaristi, namun tak pantas menggantikannya� (No. 30).
Secara obyektif, jika kita mengetahui dan melanggar ketentuan ini dengan menerima komuni di gereja Protestan atau lalai merayakan Misa, kita berbuat dosa berat. 

Oleh sebab itu, hingga perbedaan-perbedaan antara Katolik dan Protestan dipulihkan, �interkomuni� yang sesungguhnya tidak dapat terjadi. Di samping itu, dengan perinsip saling menghormati perbedaan dalam keyakinan masing-masing, seorang Katolik wajib menjauhkan diri dari menerima komuni dalam perayaan Protestan, demikian juga sebaliknya, seorang Protestan dalam Perayaan Misa Katolik. Saya ingat suatu ketika saya menghadiri pemakaman seorang teman di sebuah gereja Protestan, di mana diadakan perjamuan. Pendeta mengundang setiap orang untuk menerima komuni. Saya tidak ikut menerima komuni, karena saya menghormati keyakinan mereka dan keyakinan saya sendiri: saya tidak sepenuhnya menerima segala keyakinan atau praktek kebaktian mereka, demikian juga mereka tidak menerima segala keyakinan Gereja Katolik Roma. Karenanya, menerima komuni akan berarti menyatakan, �Aku ada dalam persekutuan mereka,� padahal sesungguhnya tidak. Lebih buruk lagi, jika saya menerima komuni tersebut, berarti saya menerima sesuatu yang kudus yang mengikat saya sebagai bagian dari persekutuan mereka - setidak-tidaknya begitulah menurut pandangan Katolik - padahal sesungguhnya saya tidak pernah ikut ambil bagian dalam kebaktian mereka sesudah itu. 

Kita patut ingat bahwa menyambut komuni tidak hanya menyangkut pada apa yang diyakini individu yang bersangkutan. Menyambut komuni berarti mengikat orang ke dalam suatu jemaat / gereja, mengidentifikasikan diri sebagai anggota gereja tersebut, dan mengikatnya pada ajaran-ajaran gereja tersebut. Dengan memahami peraturan-peraturan Gereja mengenai penerimaan Komuni Kudus, kita akan lebih menghargai karunia Sakramen Mahakudus, lebih menghargai keyakinan orang lain, dan berjalan menuju persatuan - inilah cinta kasih sejati. Mengabaikan peraturan-peraturan Gereja hanya akan menciptakan rasa persatuan yang semu dan mewujudkan kasih yang dangkal, yang sungguh merupakan musuh utama cinta kasih. 


Pax et Bonum

Saturday, September 24, 2011

Yesus Turun Ke Tempat Penantian


1. Fakta. Yesus menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. Harga tebusan sudah dibayar dan kehidupan duniawi-Nya sudah berlalu. Sekarang Ia melewati ambang pintu kematian dan masuk ke dalam suatu fase baru penuh rahasia. Apakah yang terjadi pada saat itu? Apabila seorang manusia meninggal maka badan yang tidak berjiwa itu tertinggal. Kebenaran itu berlaku juga bagi Kristus. Orang menguburkan badan itu. Tetapi di manakah jiwa-Nya? Ia sudah menyerahkan jiwa ke dalam tangan Bapa-Nya. Ia menerima apa saja sesuai dengan kehendak Bapa. Jiwa itu turun ke Tempat Penantian. Situasi apakah yang dimaksudkan dengan perkataan �Tempat Penantian� itu? Dalam Perjanjian Lama perkataan itu pada umumnya menunjukkan suatu tempat di mana jiwa orang mati tinggal: yang saleh dan yang berdosa. Lama-kelamaan orang mengadakan pembedaan: yang berdosa dihukum di tempat itu dan yang saleh mengenyam kebahagiaan. Mereka ini berada di dalam tangan Tuhan, mereka berada dalam ketenteraman, mereka berharap akan kebebasan, kebangkitan  dan kebakaan. Dalam kelompok inilah jiwa Kristus menggabungkan diri.


Tempat Penantian ini bukanlah neraka jahanam, tetapi juga diberi nama ruang depan neraka. Tempat ini bukan juga tempat kebahagiaan sempurna, tetapi suatu tempat pengharapan akan kebahagiaan kekal yang akan datang. Sebelum Kristus masuk ke dalam kebahagiaan kekal, tidak ada seorang yang dapat masuk ke dalam surga.
Khotbah Petrus pada pagi hari Pentakosta berisikan kejadian ini.
Allah telah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu. Sebab Daud berkata tentang Dia: �Aku senantiasa memandang kepada Tuhan, karena Ia di sebelah kananku, aku tidak goyah. Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak sorai, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram, sebab engkau tidak menyerahkan aku kepada dunia orang mati dan tidak membiarkan orang kudus-Mu melihat kebinasaan......� Karena itu ia telah melihat ke depan dan telah berbicara tentang kebangkitan Mesias, ketika ia mengatakan bahwa Dia tidak ditinggalkan dalam dunia orang mati dan bahwa daging-Nya tidak mengalami kebinasaan. (Kis 2:24-27,31)
Perkataan Kristus yang ditujukan kepada kaum farisi dan ahli taurat menjadi makin terang bagi kita ketika Ia berbicara tentang nabi Yunus. Seperti Yunus tinggal di dalam perut ikan tiga hari tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal di dalam rahim bumi tiga hari tiga malam (Mat 12:40). Badan-Nya sudah dikubur di dalam bumi; jiwanya sudah turun ke tempat penantian.

2. Keadaan Kristus selama beberapa hari antara kematian dan kebangkitan merupakan rahasia besar. Di ruang depan neraka, Kristus mengalami suasana tenang tenteram; Ia hidup dalam pandangan Bapa; sakit dan duka tidak mengganggu-Nya lagi. Ia hanya merindukan kedatangan saat di mana karena kekuasaan ilahi, Ia dapat bersatu lagi dengan badan lalu bangkit dari antara orang mati dengan kodrat yang dimuliakan.

3. Arti daripada turunnya Kristus ke Tempat Penantian. Setiap perbuatan Kristus selalu berkaitan dengan keselamatan dan kebahagiaan kita. Demikian juga di sini. Walaupun ada persamaan di antara Kristus dan manusia lain, namun selalu ada suatu perbedaan besar. Jiwa Kristus datang dan tinggal di sana bukan seperti jiwa-jiwa lain. Di dalam roh itu juga, Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah (1 Petr 3:19-20). Kehadiran Kristus di tempat itu merupakan penyampaian kebahagiaan bagi jiwa yang saleh. Ia menyampaikan hasil pengorbanan-Nya kepada mereka. Tatkala Ia naik ke tempat tinggi, Ia membawa tawanan-tawanan: Ia memberikan pemberian-pemberian kepada manusia. Bukankah �Ia telah naik� berarti bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah? (Ef 4:8-9)

Oleh Pater H. Embruiru, SVD dalam �Aku Percaya� Art. 5 No. 1

Monday, August 15, 2011

St. Josemaria Escriva: "...Satu-satunya Kebebasan-yang dapat menyelamatkan manusia adalah kebebasan Kristen"


Tidaklah benar bahwa menjadi seorang Katolik yang baik berarti bertentangan dengan melayani masyarakat dengan tulus. Dengan cara yang sama tidak ada alasan mengapa Gereja dan Negara harus berbenturan ketika mereka melaksanakan otoritas masing-masing, dalam pemenuhan misi Allah yang telah dipercayakan kepada mereka. 
Mereka yang menegaskan sebaliknya (bahwa menjadi Katolik yang baik berarti tidak bisa melayani masyarakat dgn tulus, atau Gereja dan Negara pasti berbenturan, terj) adalah pembohong, ya, pembohong! 
Mereka adalah orang-orang yang sama yang menghormati kebebasan palsu, dan meminta kita umat Katolik untuk melakukan kemauan mereka, kembali ke katakombe. (Furrow, 301) 


Kita [tetap] akan menjadi 'budak' bagaimanapun. Karena kita harus melayani, terlepas apakah kita suka atau tidak, ini kodrat kita sebagai manusia; maka tidak ada hal yang lebih baik daripada menyadari bahwa Cinta telah membuat kita menjadi budak Allah. 
Saat kita menyadari hal ini, kita berhenti menjadi budak dan menjadi teman, anak-anak [Allah]. 
Kemudian kita akan melihat perbedaannya: kita menemukan diri kita menangani pekerjaan jujur dari dunia dengan penuh semangat dan antusias, sama seperti orang lain, tetapi dengan rasa damai di kedalaman hati kita. 
Kita senang dan tenang, bahkan di tengah kesulitan, karena kita tidak meletakkan kepercayaan kita pada hal yang akan berakhir, tetapi pada apa yang kekal. Kami bukan anak-anak budak, tetapi (anak-anak) dari wanita merdeka. [Gal 4:31]. 



Dari mana kebebasan kita berasal? Itu berasal dari Kristus Tuhan kita. 
Ini adalah kebebasan yang Ia tebus bagi kita [Gal 4:31]. 
Itulah mengapa ia mengajarkan, "Apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu akan benar-benar merdeka" [Yoh 8:36]. 
Kita, orang Kristen, tidak perlu meminta orang lain untuk memberitahu kita arti sesungguhnya dari anugerah ini, karena satu-satunya kebebasan yang dapat menyelamatkan manusia adalah kebebasan Kristen. 


Saya ingin berbicara tentang petualangan kebebasan, karena itu menunjukkan bagaimana kehidupan Anda dan saya terungkap. Saya bersikeras bahwa adalah bebas -sebagai anak-anak dan bukan sebagai budak- bahwa kita mengikuti jalan yang telah Tuhan kita tandai untuk masing-masing dari kita. Kita menjalani kebebasan tindakan kita sebagai karunia dari Allah ... 


Kita bertanggung jawab kepada Allah atas semua tindakan yang kita lakukan dengan bebas. Tidak ada ruang di sini untuk anonimitas. Masing-masing menemukan dirinya berhadapan dengan Tuhan, dan mereka dapat memutuskan untuk hidup sebagai teman Tuhan atau sebagai musuh-Nya. 
Ini adalah awal dari jalur perjuangan batin yang merupakan tanggung jawab seumur hidup karena, selama kita berada di bumi ini, kita tidak akan pernah mencapai kebebasan penuh. (Friends of God, 35-36) 

St. Josemaria Escriva: "Keselamatan di dalam Gereja"


Kita tidak bisa melupakan bahwa Gereja bukan hanya sekedar jalan keselamatan, melainkan dialah satu-satunya jalan. Ini bukan pendapat manusia, tetapi kehendak yang diungkapkan Kristus: Dia yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. [23]

Itulah sebabnya kami menegaskan bahwa Gereja merupakan sarana yang diperlukan untuk [menuju] keselamatan. Sekitar abad kedua, Origenes menulis: Jika ada yang ingin diselamatkan, biarkan dia datang ke rumah ini sehingga ia dapat memperoleh keselamatan. . . Janganlah biarkan seorangpun menyesatkan dirinya sendiri: di luar rumah ini, yakni di luar Gereja, tidak akan ada yang diselamatkan. [24] Mengenai air bah tersebut, Santo Siprianus mengatakan: Jika seseorang selamat dengan berada di luar bahtera Nuh maka kita akan bisa mengakui bahwa orang yang meninggalkan Gereja bisa menghindarkan diri dari petaka. [25]


Extra ecclesiam, nulla salus. [Kalimat] ini adalah peringatan terus-menerus dari para Bapa Gereja.
Di luar Gereja Katolik Anda dapat menemukan semuanya kecuali keselamatan, demikian kata Santo Agustinus. Anda dapat memiliki kehormatan dan sakramen: Anda bisa menyanyi "Haleluya" dan menjawab "Amin" Anda dapat mengabarkan Injil, mengimani Bapa, Putera, dan Roh Kudus, dan memberitakan bahwa iman Tapi tidak pernah, kecuali dalam Gereja Katolik, Anda bisa menemukan keselamatan. [26]

Meskipun demikian, seperti disesalkan oleh Paus Pius XII sekitar dua puluh tahun lalu, beberapa [orang] mereduksi  ke kata-kata kosong mengenai perlunya untuk terhubung dengan Gereja yang sejati untuk mendapatkan keselamatan kekal. [27]

Dogma iman ini adalah akar karya co-redemptive Gereja (partisipasi unik Gereja dalam karya penebusan Kristus, terj). Dogma ini memerintahkan tanggung jawab apostolik yang berat bagi setiap orang Kristen. Di antara perintah-perintah Kristus, terungkap salah satunya perintah untuk menggabungkan diri dalam Tubuh Mistik-Nya melalui Pembaptisan.  
Dan Juruselamat kita tidak hanya memerintahkan supaya setiap orang masuk Gereja, tetapi juga menetapkan bahwa Gereja menjadi sarana keselamatan, yang tanpanya tidak ada yang dapat mencapai kerajaan surgawi yang mulia. [28]

Adalah masalah iman bahwa siapapun yang tidak di dalam Gereja tidak akan diselamatkan, dan siapa yang tidak dibaptis tidak masuk Gereja. Pembenaran (Justification) tidak dapat dilakukan setelah berlakunya Injil, tanpa adanya Baptisan atau keinginan untuk itu, demikian diputuskan oleh Konsili Trente. [29]

Ini merupakan permintaan terus-menerus dari Gereja yang di satu sisi merangsang kita kepada semangat kerasulan yang lebih besar, dan di sisi lain mewujudkan dengan jelas belas kasihan Allah yang tak terbatas kepada ciptaan-Nya. 

Beginilah penjelasan Santo Thomas [Aquinas]:
Sakramen Pembaptisan mungkin kurang / tidak lengkap (wanting) pada seseorang dengan dua cara.
Pertama, [kurang] dalam kenyataan dan keinginan, seperti halnya orang-orang yang tidak dibaptis atau tidak ingin dibaptis: yang jelas menunjukkan penghinaan terhadap sakramen bagi mereka yang sudah bisa menggunakan akal.
Akibatnya mereka yang  kekurangan Baptisan demikian adalah tidak dapat memperoleh keselamatan: karena baik secara sakramen maupun spiritual mereka tidak tergabung ke dalam Kristus, yang hanya melalui Dia keselamatan dapat diperoleh.
Kedua, sakramen Baptisan mungkin kurang lengkap pada seseorang pada kenyataannya, tetapi tidak dalam keinginan: misalnya, ketika seseorang ingin dibaptis, tetapi karena kurang beruntung dia dihentikan oleh kematian sebelum menerima Baptisan. Orang seperti itu dapat memperoleh keselamatan tanpa benar-benar dibaptis, karena [memiliki] keinginan untuk Baptisan, keinginan yang merupakan hasil dari "iman yang bekerja oleh kasih" dimana Allah, yang kekuasaan-Nya tidak terbatas dengan sakramen yang terlihat, menguduskan dalam hati manusia. [30]

Tuhan Allah kita tidak menghalangi seseorang untuk kebahagiaan supranatural dan abadi, meskipun ini adalah hadiah gratis, tidak ada seorang pun yang berhak, terutama setelah [terjadinya] dosa. Kemurahan-Nya tak terbatas.
Ini adalah masalah pengetahuan umum bahwa mereka yang menderita ketidaktahuan tak teratasi (invincible ignorance) terhadap agama kita yang paling suci, tapi dengan hati-hati menjalani semua ajaran Hukum Alam yang dipatrikan oleh Allah dalam hati semua orang, dan ingin mematuhi Allah dan menjalani kehidupan yang lurus, dapat memperoleh hidup kekal melalui karya berkhasiat cahaya ilahi dan rahmat. [31]

Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi di dalam hati setiap orang, dan ia tidak berurusan dengan jiwa secara massal, tapi satu demi satu. Tak seorang pun di bumi ini bisa membuat penilaian tentang keselamatan kekal atau penghukuman dari setiap individu.

Janganlah kita lupa bahwa hati nurani bisa salah dan makin  keras hati akibat dosa, menolak tindakan Allah yang menyelamatkan. Itulah mengapa perlu untuk menyebarkan ajaran Kristus, kebenaran iman dan norma-norma moralitas Kristen. Itulah juga mengapa kita perlu sakramen-sakramen, yang semuanya diberikan oleh Yesus Kristus sebagai sumber kasih karunia-Nya [32] dan obat untuk kelemahan yang timbul dari sifat alami kita yang [gampang] jatuh. [33] Akhirnya, itu sebabnya kita perlu sering menerima sakramen Tobat dan Ekaristi.

Tanggung jawab yang mengagumkan dari semua anggota Gereja dan terutama gembala diperjelas dalam nasihat Santo Paulus:
"Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. [34]


=================
Catatan kaki:
23 Mark 16:16
24 Origen, In Iesu nave homilia, 5, 3; PG 12, 841
25 St Cyprian, De catholicae Ecclesiae unitate, 6; PL 4, 503
26 St Augustine, Sermo ad Cassariensis ecclesiae plebem, 6, PL 43, 456
27 Pius XII, Encyclical, Humani generis, AAS 42, p 570
28 Pius XII, Letter from the Holy Office to the Archbishop of Boston, Dz-Sch 3868
29 Council of Trent, De iustificatione, ch 4, Dz-Sch 1524
30 St Thomas, S. Th. III, q68 a2
31 Pius IX, Encyclical, Quanto conficiamur moerore, 10 August 1863, Dz-Sch 1677 (2866)
32 cf St Thomas, S. Th. III, q62 a1
33 cf ibid, q61 a2
34 2 Tim 4:1-4


sumber artikel terjemahan: Page Katolik Indonesia

Tuesday, July 26, 2011

Mengapa Wanita Tidak Dapat Menjadi Imam?



Argumen paling umum yang sering ditampilkan adalah bahwa Yesus tidak pernah memilih wanita dalam pelayanan imamat. Argumen ini sungguh benar dan tepat. Tetapi argumen ini bukanlah argumen yang kuat dan argumen ini sendiri bukanlah argumen yang lengkap. Pertama-tama perlu diketahui bahwa argumen kaum feminis (mereka yang menghendaki adanya Imam wanita) didasarkan pada gagasan akan martabat dan kesetaraan derajat manusia dalam fungsi dan tugas. Hal ini seringkali jarang dibicarakan ketika isu penahbisan wanita dan kesetaraan dimunculkan.

Bagi kaum feminis, martabat dan kesetaraan tergantung pada bisa atau tidaknya dan boleh atau tidaknya seorang wanita untuk melakukan segala sesuatu yang sama dengan yang pria lakukan. Mereka menyatakan bahwa hanya dengan melakukan segala sesuatu yang sama ini atau setidaknya memiliki kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang sama tersebut, kedua gender ini akan menjadi setara dalam martabat. Menolak bahwa wanita mempunyai fungsi dan tugas yang sama dengan pria sama dengan menolak kesetaraan dan martabat wanita. Hubungannya mungkin terlihat logis tetapi dasar argumen ini sendiri error sekali.

Bertentangan dengan hal ini, pandangan Katolik tidak mengaitkan martabat dan kesetaraan gender dengan fungsi dan tugas yang dapat dilakukan oleh kedua gender. Pribadi manusia tidak ada yang kurang bermartabat atau tidak setara dengan pribadi manusia lainnya berdasarkan apa yang dapat dilakukan atau yang tidak dapat dilakukannya. Melakukan sebuah fungsi spesifik tidak membuat seseorang menjadi lebih layak atau bermartabat daripada seseorang lain yang tidak dapat melakukan fungsi tersebut. Inilah mengapa Gereja menghargai setiap manusia itu setara, lepas dari kriteria penilaian masyarakat terutama kaum feminis. Gereja menilai setiap manusia itu setara termasuk mereka yang terbaring lemah karena sakit parah.

Munculnya budaya euthanasia dan etika �kualitas hidup� juga didasari pada prinsip kaum feminis di atas. Dengan berdasarkan pada prinsip error ini, seseorang dapat memutuskan dan menilai seseorang lainnya yang tidak memenuhi standar �kualitas hidup� dan kemudian menilai orang tersebut untuk di-euthanasia ketimbang merawatnya dengan penuh penghargaan akan kehidupan. Prinsip error di atas mengabaikan intrinsic dignity (martabat instrinsik) manusia yang dianugerahkan Allah. Prinsip-prinsip tersebut sungguh bertentangan dengan kehendak Allah dan martabat manusia itu sendiri.

KGK 369 Pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. �Kepriaan� dan �kewanitaan� adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya (Bdk Kej 2:7.22). Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama �menurut citra Allah�. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.
KGK 2334 2334. �Ketika menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Allah menganugerahkan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama dan memberi mereka hak-hak serta tanggung jawab yang khas� (Familiaris Consortio 22, Bdk. Gaudium et Spes 49,2).
Dalam diskusi dengan kaum feminis, seorang Katolik sejati harus berani menegaskan kepada mereka bahwa konsepsi/pemahaman Katolik mengenai kesetaraan dan martabat manusia berbeda dengan kaum feminis secara fundamental. Sungguh tidak tepat jika mengatakan kedua pihak, Katolik dan feminis, memandang kesetaraan dan martabat dengan cara yang sama. Feminis meyakini bahwa wanita tidak memiliki kesetaraan dengan pria dalam Gereja karena mereka ditolak oleh Gereja untuk melakukan suatu fungsi, yaitu fungsi imamat. Sedangkan Katolik meyakini bahwa wanita memiliki kesetaraan karena martabat intrinsik mereka  sebagai seorang pribadi manusia. Wanita melengkapi pria tetapi wanita tidak sama dengan pria. Sekalipun tidak sama, tetapi pria dan wanita setara.

Lalu, mengapa hanya pria yang dapat menjadi imam? Perlu dipahami oleh kaum feminis adalah tindakan liturgis dalam Misa merupakan suatu tindakan pernikahan. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus Kristus disebut sebagai mempelai pria dan Gereja sebagai mempelai wanita-Nya. Kitab Suci memberikan gambaran mengenai hal ini:

(Mrk 2:19-20)
2:19 Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa.
2:20 Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.

(Why 19:7-8)
19:7 Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari pernikahan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia.
19:8 Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" (Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.)

(Why 21:1-2)
21:1. Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi.
21:2 Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru (Gereja), turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.
Yesus Kristus, Pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus, menggambarkan dirinya sebagai seorang mempelai pria bagi Gereja yang dikasihi-Nya, para pengikut-Nya. Karena hal ini, kita kerap memanggil Gereja dengan kata ganti �dia� dalam bentuk perempuan atau �she�, bukan �he�. Penggunaan kata ganti tersebut memang tidak terlihat dalam bahasa Indonesia tetapi apabila kita merujuk ke bahasa Inggris maka akan terlihat dengan jelas.

Imam berdiri dalam pribadi Kristus, persona Christi. Bukanlah imam itu sendiri yang terutama bertindak, tetapi Pribadi Kristus sendiri yang bertindak melalui penampilan gerakan, sikap tubuh, dan pernyataan-pernyataan Imam selama Misa. Dan karena Kristus adalah pria, Imam yang bertindak dalam pribadi Kristus jugalah harus seorang pria dengan dasar tujuan untuk merefleksikan Inkarnasi dalam kepenuhannya.

Ketika roti dan anggur dikonsekrasi oleh imam, sang imam tersebut yang berada dalam pribadi Kristus kemudian menunjukkan Tubuh dan Darah Kristus kepada mempelai-Nya, umat Allah (Gereja). Di sinilah persatuan satu tubuh antara mempelai pria, Yesus Kristus (melalui imam sebagai instrumennya) dengan mempelai wanita, Gereja-Nya, disempurnakan. Persatuan supranatural antara Allah dan umat-Nya ini adalah refleksi mistik dan paling pokok dari pernikahan alami antara seorang pria dan wanita. Oleh karena itu Gereja sebagai mempelai wanita selalu feminin sedangkan Imam dalam Pribadi Kristus selalu maskulin. Misa mencerminkan pesta pernikahan ilahi antara Sang Mempelai Pria dengan Sang Mempelai Wanita.

Dalam masyarakat pada umumnya sekarang ini, imamat Gereja Katolik sedang direduksi dan digoyahkan oleh permainan dan usaha yang dilakukan oleh kaum feminis. Bukanlah kebetulan bahwa dorongan kaum feminis untuk terwujudnya penahbisan wanita dalam Gereja Katolik datang di saat yang sama dengan dorongan kaum homoseksual untuk melegalkan pernikahan sejenis dalam Gereja Katolik. Karena tindakan liturgis adalah cermin dari realitas pernikahan, maka �pernikahan� seorang imam wanita dengan Gereja sebagai mempelai wanita tentunya akan menunjukkan penerimaan kultural homoseksualitas secara umum dan �pernikahan� sejenis secara khusus. Ya ya ya, sekali lagi terbukti iblis sedang berusaha merongrong Gereja lagi.

Pax et Bonum 

Diadaptasi dari tulisan John Pacheco di situs catholic-legate.com